Sabtu, 17 Juli 2010

Polemik Seputar Pemekaran Daerah, Kabupaten Banyumas vs Kota Purwokerto

SAMPAI di awal tahun 2004 ini, dalam wacana politik lokal di Jateng masih tersisa sejumlah masalah yang pantas kiranya untuk direspon dengan penuh kehati-hatian dan kearifan.

Di antaranya adalah polemik yang masih mengemuka di Kabupaten Banyumas di antara dua pihak yang tidak dan yang menghendaki adanya pemekaran menjadi dua daerah otonom, Kabupaten Banyumas vs Kota Purwokerto.


Polemik itu dari menit ke menit kian menajam, bahkan jika tidak ditemukan jalan keluar yang tepat (win-win solution), tak mustahil konflik bisa berubah wujud menjadi kekerasan (komunalisme) yang akhirnya membahayakan rakyat, pemerintah daerah, eksistensi kelembagaan DPRD atau bahkan masyarakat Jateng pada umumnya. Revolusi sosial dalam bentuknya yang beragam tentu sangat disayangkan bila akhirnya menjadi pilihan yang mereka anggap paling rasional.

Saya mendengar keinginan memekarkan Banyumas menjadi dua daerah otonom bukanlah keinginan yang secara tiba-tiba ada, terutama sejak berakhirnya proses pilbup 2003. Sehingga, meninggalkan kesan seolah-olah kehendak memekarkan daerah sekadar merupakan efek sabetan dari ketidakpuasan politik sebagai elite politik yang tidak beruntung dalam proses pilbup tersebut.

Tetapi, keinginan itu sudah lama tersimpan menjadi impian warga masyarakat Kota Purwokerto, karena kondisi objektif dan empirik dari Kota Kripik tersebut, dalam persepsi mereka mendukung atau bahkan layak sekali ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom.

Tercatat pada masa kepemimipnan Bupati Djoko Sudantoko, penelitian awal yang dilakukan untuk kepentingan itu mendukung ke arah pemekaran. Karenanya pemerintah daerah pada masa itu mendukung sepenuhnya, bahkan telah mewujudkannya ke dalam sejumlah keputusan politik.

Asumsi mereka tidaklah salah, sebab merekalah yang tahu persis mengenai segala macam isi perut Kota Purwokerto. Mereka memandang Kota Purwokerto layak ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom dari berbagai sisi. Baik dari sisi kesejarahan, letak geografis, kemampuan ekonomi, potensi daerah, kemampuan sosial politik, kemampuan sosial budaya, jumlah penduduk, luas wilayah, dan lain-lain.


Sisi Positif

Terlihat memang ada sisi positif bahwa inisiatif melakukan pemekaran bermula dari arus besar keinginan bottom up yang terlihat dari geliat kelompok masyarakat sipil seperti LSM, perguruan tinggi, intelektual, ormas, dan sebagian orsospol yang menghendaki pemekaran. Mereka telah melakukan berbagai kajian dalam forum-forum ilmiah maupun polling pendapat umum.

Keinginan itu makin diyakinkan dalam kerangka sistemnya pun memberikan peluang, pemekaran dapat dilakukan. Tercatat dalam UUD 1945, UU No 22 tahun 1999, PP No 129 Tahun 2000, dan dalam revisi Propeda, terdapat sejumlah diktum pasal yang memungkinkan Purwokerto mereinkarnasi diri menjadi daerah otonom baru.

Hanya saja ada sejumlah persyaratan fundamental yang harus dipenuhi sebagaimana diamanatkan PP No 129 Tahun 2000. Di antara sejumlah persyaratan itu adalah ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan (pasal 16 ayat 1 a); dan harus didukung penelitian awal yang dilaksanakan pemerintah daerah (pasal 16 ayat 1 b).


Kemauan politik dari pemerintah daerah sudah mulai terbangun, begitu pun kemauan politik dari masyarakat. Hanya saja penelitian awal yang dilaksanakan pemerintah daerah - melalui tim peneliti Undip - menghasilkan temuan, Kabupaten Banyumas tidak layak dimekarkan menjadi dua daerah otonom. Bahkan, penelitian itu menyarankan "peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak harus dilakukan dengan pemekaran, tetapi melalui kebijakan kelembagaan dan program kegiatan yang merata" (SM, 22/12).

Pupuslah sudah harapan mereka. Pupuslah sudah kemauan politik yang sudah terbangun. Semangat yang mereka kobarkan sejak awal terpental ke belakang seperti menabrak tembok besar. Mereka kecewa, mereka terluka, mereka sedih, mereka loyo, mereka pilu, penelitian itu meninggalkan luka dalam lubuk hati terdalam sejumlah kelompok masyarakat sipil.

Mereka katakan, "apakah tim peneliti tidak sadar hasil penelitiannya semakin mengeraskan konflik di antara mereka. Tim peneliti bisa saja tidak peduli dengan urusan semacam itu, bahkan dengan leluasa bisa saja meninggalkan daerah penelitian setelah proyek selesai tanpa harus komit terhadap psikologi massa terbaru yang berubah setelah penelitian itu selesai," kata salah seorang peserta diskusi.

Itu sebabnya mereka rapatkan barisan melakukan kajian akademik, sekalipun dalam forum yang mereka gelar sifatnya sepihak karena tim peneliti dari pemerintah daerah tidak ada dalam acara diskusi itu. Kaji akademik difokuskan di dua elemen: teknik dan etika penelitian. Elemen teknik terkait dengan segala macam prosedur atau metodologi yang dipakai selama penelitian berlangsung sampai pada proses generalisasi, sedang elemen etika berkenaan dengan orientasi, perspektif, dan motivasi dari tim peneliti apakah ada actual malice (maksud terselubung) yang turut mewarnai proses penelitian.

Secara kebetulan diskusi yang diinisiatifi sejumlah elemen masyarakat di Purwokerto mengundang sejumlah akademisi atas nama pribadi bukan atas nama institusi apapun baik Undip, DRD, KP2KKN untuk mendengarkan kajian mereka dengan harapan bisa disampaikan ke tim peneliti terdahulu. Sampailah pada kesimpulan di dua elemen itu (teknik dan etika) mereka keberatan menerima hasil penelitian tim peneliti pemerintah daerah.

Babak Terbaru

Inilah babak terbaru dari serangkaian polemik yang kembali muncul. Tentu sangat disayangkan bila konflik itu dibiarkan berlarut-larut. Faktornya jelas, yakni soal pilihan "rasionalitas". Polemik itu terjadi sesungguhnya bermula dari pilihan dua rasionalitas: instrumental vs substantif, yang dihidupkan di setiap faksi-faksi.

Rasionalitas instrumental adalah cara berpikir yang sekadar menjadikan isu pemekaran dikedepankan dalam kerangka memperoleh atau bahkan mempertahankan keuntungan pragmatis yang berdurasi jangka pendek.

Sementara rasionalitas substantif adalah cara berpikir yang menjadikan isu pemekaran dalam kerangka kepentingan kesejahteraan rakyat, demokrasi, pendidikan politik, efisiensi pemerintahan, pengembangan dunia usaha, kesempatan kerja, dan lain-lain. Polemik itu terus terjadi berada dalam pendulum tarik-menarik dua rasionalitas semacam itu.

Mudah-mudahan tim peneliti Undip tidak terserap pula dalam pasaran ke salah satu kepentingan faksi yang terbelah dalam dua pola rasionalitas itu. Jika ternyata hanyut pula dalam pusaran konflik itu, berarti ada actual malice yang ikut mewarnai proses penelitian. Berarti penelitian itu cacat pula di tingkat etika penelitian.

Maka untuk membersihkan dugaan-dugaan yang tidak perlu itu, sejumlah kelompok masyarakat sipil di Purwokerto berupaya membentuk kelompok mediasi yang diharapkan mampu menjadi penjaga gawang mengembalikan semua hal yang semula berbau instrumental ke substantif.

Selain itu diharapkan pula mampu menjembatani perang kepentingan yang terjadi di antara semua pihak yang pro dan kontra (vertikal dan horisontal), termasuk juga menjadi jembatan konflik antara sejumlah kelompok masyarakat dan tim peneliti terdahulu.

Itulah posisi strategis dari kelompok mediasi yang terdiri atas sejumlah akademisi yang secara kebetulan ada yang berasal dari Undip, antara lain Prof Dr Nurdien H Kistanto MA, Drs Novel Ali dan Amirudin. Mudah-mudahan kehadirannya bermanfaat bagi masyarakat Banyumas dan masyarakat Jateng umumnya.(Penulis adalah Dosen Komunikasi FISIP Undip, Peneliti Sosial Budaya-42)


Sumber :
Amirudin
5 Januari 2004
http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/05/dar39.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar